Senin, 06 April 2015

Rasionalitas Demokrasi

Para filsuf Yunani abad ke-4 SM, seperti Aristoteles, memberikan uraian mendasar akan arti demokrasi dan politik. Menurutnya, politik tidak akan tumbuh dengan baik tanpa demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat adalah proses politik yang melibatkan dan menempatkan kepentingan rakyat luas didalamnya. Perkembangannya sekarang, keterlibatan masyarakat dalam demokrasi telah tumbuh begitu pesat. Masyarakat memiliki kencenderungan pro aktif mencari infromasi tentang calon pemimpin yang akan turut serta dalam kontestasi demokrasi. Ini merupakan modal awal yang cukup baik dalam proses berdemokrasi di Indonesia.

Pilkada yang akan dilaksanakan serentak nanti membuat dinamika politik menjadi ramai. Tidak hanya obrolan di warung kopi saja. Di dunia maya seperti facebook dan twitter pun tidak kalah ramai. Secara aktif masyarakat memberikan argumentasi terhadap seluruh proses demokrasi itu sendiri. Tanpa terkecuali tentang profil para kandidat dari yang baru hingga calon incumbent. Ketiga soal di atas sudah pasti ada pihak yg pro dan kontra. Fenomena ini merupakan bentuk dari kepedulian masyarakat dan sikap kesadaran politik yang menjadi angin segar bagi proses demokrasi kita.

Lantas, apakah selesai disitu pokok permasalahan dinamika demokrasi kita? Jawabanya adalah: TIDAK. Mari kita bahas dari fenomena umum bagaimana seorang kandidat berusaha me manipulasi fakta hingga aksi saling serang utk membentuk yang menyesatkan masyarakat. Tujuannya satu, menenggelamkan calon tertentu dengan isu yang belum terbukti validasinya. Isu ini bukan hanya di teriakan oleh satu pihak saja. Beberapa pihak pendukung saling serang memberikan isu negatif antara calon yg satu dg calon lainya. Ada yang memberikan pembenaran dengan bukti-bukti, ada yang merasa teraniaya, dan ada juga yang memberikan serangan balik terhadap lawan.

Bentuk medianya macam-macam, tidak sedikit bermunculan media-media siluman yang seolah representatif untuk memberikan informasi dengan menyerang lawan dan mendukung calon yang diusung. Akan bahaya jika kita (masyarakat) tidak cermat dalam menkonsumsi informasi-informasi tersebut. Kita tidak bisa menolak informasi tersebut, yang harus kita gencarkan adalah pendidikan politik supaya masyarakat dapat dengan bijak dan cermat mengolah informasi yang belum valid bahkan cenderung provokatif. Metode kampanye hitam dan kampanye negatif seperti gambaran diatas tidak lagi ampuh untuk mematikan lawan. Beberapa kasus Justru kebalikan, lawan mendapat simpatik yang besar dari publik. Contoh saat Barrack Obama mencalonkan diri menjadi presiden AS. Ia lahir dari ras kulit hitam, yg dulu dalam sejarah Eropa di anggap sebagai kaum budak. Tak pelak, isu-isu miring tentang kulit hitam menyeruak menghadangnya. Jokowi di isukan kristen atau antek barat, Ahok anti islam. Fakta ini barangkali menjadikan pertimbangan bagi para calon dan timses agar tepat dalam melaksanakan strategi pemenangan calonya.


Harapan nya, calon pemimpin kita mendatang menyadari bahwa proses pemilu tidak semata-mata ajang pemilihan pemimpin saja. Tapi lebih dari itu para calon memiliki kewajiban dalam memaknai demokrasi. Demokrasi yang memberikan pendidikan melalui visi dan misinya. Mengedepankan prinsip perbedaan pandangan politik tidak boleh dianggap sebagai dosa. Selain itu, perbedaan pandangan politik juga tidak boleh diselesaikan dengan “kekerasan”. Usaha pendidikan politik ini tentu terkait pertanyaan yang harus terjawab soal calon incumbent dan calon baru. Akan naif apabila memilih kembali incumbent tapi faktanya belum memberikan yang terbaik pada jabatannya. Namun akan berbahaya pula apabila memilih calon baru yang tidak jelas latar belakangnya, pemikiran dan kiprahnya di masyarakat, apalagi kita harus hanya percaya dengan visi-misinya.

Danar Dewa