Para filsuf Yunani abad ke-4 SM, seperti Aristoteles, memberikan
uraian mendasar akan arti demokrasi dan politik. Menurutnya, politik tidak akan
tumbuh dengan baik tanpa demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat adalah
proses politik yang melibatkan dan menempatkan kepentingan rakyat luas
didalamnya. Perkembangannya sekarang, keterlibatan masyarakat dalam demokrasi
telah tumbuh begitu pesat. Masyarakat memiliki kencenderungan pro aktif mencari
infromasi tentang calon pemimpin yang akan turut serta dalam kontestasi
demokrasi. Ini merupakan modal awal yang cukup baik dalam proses berdemokrasi
di Indonesia.
Pilkada yang akan dilaksanakan serentak nanti membuat dinamika politik
menjadi ramai. Tidak hanya obrolan di warung kopi saja. Di dunia maya seperti
facebook dan twitter pun tidak kalah ramai. Secara aktif masyarakat memberikan
argumentasi terhadap seluruh proses demokrasi itu sendiri. Tanpa terkecuali
tentang profil para kandidat dari yang baru hingga calon incumbent. Ketiga
soal di atas sudah pasti ada pihak yg pro dan kontra. Fenomena ini merupakan
bentuk dari kepedulian masyarakat dan sikap kesadaran politik yang menjadi
angin segar bagi proses demokrasi kita.
Lantas, apakah selesai disitu pokok permasalahan dinamika demokrasi
kita? Jawabanya adalah: TIDAK. Mari kita bahas dari fenomena umum bagaimana
seorang kandidat berusaha me manipulasi fakta hingga aksi saling serang utk
membentuk yang menyesatkan masyarakat. Tujuannya satu, menenggelamkan calon
tertentu dengan isu yang belum terbukti validasinya. Isu ini bukan hanya di
teriakan oleh satu pihak saja. Beberapa pihak pendukung saling serang
memberikan isu negatif antara calon yg satu dg calon lainya. Ada yang
memberikan pembenaran dengan bukti-bukti, ada yang merasa teraniaya, dan ada
juga yang memberikan serangan balik terhadap lawan.
Bentuk medianya macam-macam, tidak sedikit bermunculan media-media
siluman yang seolah representatif untuk memberikan informasi dengan menyerang
lawan dan mendukung calon yang diusung. Akan bahaya jika kita (masyarakat) tidak
cermat dalam menkonsumsi informasi-informasi tersebut. Kita tidak bisa menolak
informasi tersebut, yang harus kita gencarkan adalah pendidikan politik supaya
masyarakat dapat dengan bijak dan cermat mengolah informasi yang belum valid
bahkan cenderung provokatif. Metode kampanye hitam dan kampanye negatif seperti
gambaran diatas tidak lagi ampuh untuk mematikan lawan. Beberapa kasus Justru
kebalikan, lawan mendapat simpatik yang besar dari publik. Contoh saat Barrack
Obama mencalonkan diri menjadi presiden AS. Ia lahir dari ras kulit hitam, yg
dulu dalam sejarah Eropa di anggap sebagai kaum budak. Tak pelak, isu-isu
miring tentang kulit hitam menyeruak menghadangnya. Jokowi di isukan kristen
atau antek barat, Ahok anti islam. Fakta ini barangkali menjadikan pertimbangan
bagi para calon dan timses agar tepat dalam melaksanakan strategi pemenangan
calonya.
Harapan nya, calon pemimpin kita mendatang menyadari bahwa proses
pemilu tidak semata-mata ajang pemilihan pemimpin saja. Tapi lebih dari itu
para calon memiliki kewajiban dalam memaknai demokrasi. Demokrasi yang
memberikan pendidikan melalui visi dan misinya. Mengedepankan prinsip perbedaan
pandangan politik tidak boleh dianggap sebagai dosa. Selain itu, perbedaan
pandangan politik juga tidak boleh diselesaikan dengan “kekerasan”. Usaha
pendidikan politik ini tentu terkait pertanyaan yang harus terjawab soal calon
incumbent dan calon baru. Akan naif apabila memilih
kembali incumbent tapi faktanya belum memberikan yang terbaik pada
jabatannya. Namun akan berbahaya pula apabila memilih calon baru yang tidak
jelas latar belakangnya, pemikiran dan kiprahnya di masyarakat, apalagi kita
harus hanya percaya dengan visi-misinya.
Danar Dewa